Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan Prof. Sarlito Wirawan di Koran Sindo, 15 Mei 2011. Isinya adalah menunjukan bahwa beliau tidak percaya dengan tes sidik jari yang sekarang berkembang di masyarakat. Beliau katakan itu sebagai tidak ilmiah, dan terindikasi melakukan penipuan terhadap masyarakat. (Jika ingin membaca artikelnya silahkan klik http://www.kaskus.us/showthread.php?p=450268565 )
Setelah saya tanya ke para pakar, browsing, dan membaca beberapa referensi, maka saya coba memberikan pandangan yang berbeda dengan beliau.
Perbedaan mendasar antara Prof.Sarlito dengan para penganut Tes Sidik jari adalah dari segi world-view (sumber paradigma). Prof Sarlito dan ilmuwan psikologi lainnya, terutama yang beraliran barat, akan melihat personaliti sebagai ilmu perilaku (aliran behaviorism). Segalanya mesti bisa diukur berdasarkan perilaku yang tampak. Unsur-unsur potensial yang tersembunyi tidak bisa dijadikan patokan. Sehingga kalau kembali kepada rumus 100% Fenotip = 20% Genetik + 80% Lingkungan, maka aliran Prof Sarlito adalah yang 100% Fenotip, sedangkan Stifin Finger Print, aliran yang 20% Genetik. Dalam konsep STIFIn, 20% Genetik itulah yang aktif mencari lingkungan yang mendukung faktor genetiknya.
Perbedaan world-view ini merupakan perbedaan yang tidak pernah tuntas di dunia akademik. Perbedaan itu dikenal dengan Nature vs Nurture. STIFIn FingerPrint penganut Nature, sedangkan Prof Sarlito penganut Nurture.
Perbedaan tersebut selaras dengan perbedaan: 1. Barat menganut Teori Evolusi Darwin bahwa manusia berasal dari monyet, sedangkan agamawan menganut teori eksistensi bahwa manusia pertama adalah Adam, juga selaras dengan 2. Stephen Hawking (fisikawan Barat) menganggap surga cuma dongeng, sedangkan agamawan meyakini keberadaan surga. World-view Barat seperti Darwin dan Hawking tersebut selaras dengan world view Behaviorism-nya Prof Sarlito. Kalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. Itulah world-view mereka.
Secara sederhananya, saya meyakini adanya sibghah (celupan) Allah dalam diri manusia melalui kesengajaan Allah menjadikan manusia keturunan Adam. Selain itu ada kesengajaan Allah memberikan genetik yang unik pada setiap manusia. Konsep ini yang menjadi aliran Nature (ada campur tangan Allah dalam cetakan genetik manusia) sebagaimana yang saya anut, bahwa setiap manusia punya jalan sendiri-sendiri sesuai dengan genetiknya. Sedangkan aliran Nurture-nya Prof Sarlito akan mengatakan bahwa sepenuhnya manusia dapat dibentuk menjadi apapun, sepanjang bisa mengawal penggemblengan (menciptakan lingkungan sesuai keperluannya). Menurutnya manusia dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Jika mempelajari manusia pelajarilah pengalamannya.
Pandangan saya sebagaimana yang saya ungkapkan dalam banyak kesempatan bahwa yang 20% Genetik itulah yang aktif mencari 80% Lingkungan sehingga 100% Fenotip itu banyak dikontribusi oleh 20% Genetik. Memang betul tidak selalu 80% Lingkungan itu berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan 20% Genetik, tetapi tesis besarnya adalah –sadar atau tidak sadar—kebebasan berkehendak pada manusia akan mencetuskan keinginan mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, yaitu yang sesuai dengan 20% Genetik tadi. Setiap manusia mencari lingkungan yang ‘gua banget’ bagi dirinya.
Tentang hal ini, Rhenald Khasali (sesama dosen UI dengan Prof Sarlito namun berbeda pandangan juga dengan Prof Sarlito) menyebutnya sebagai genetika perilaku. “Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioral genetics), karena berdasar sejumlah penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan “, Rhenald Khasali (2010).
Sejarah Finger Print
Sidik jari adalah ciri permanen yang genetik dan tidak berubah sepanjang umur manusia. William Jenings dari Franklin Institute Philadelpia, mengambil sidik jarinya sendiri pada umur 27 tahun (1887) kemudian membandingkan dengan sidik jari setelah umur 77 tahun ternyata tidak terjadi perubahan.
Sidik jari seseorang memiliki hubungan dengan kode genetik dari sel otak dan potensi intelegensi seseorang. Penelitian ini telah dimulai sejak lebih 200 tahun yang lalu, diawali oleh Govard Bidloo (1865), J.C.A Mayer (1788), John E Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), Inez Whipple (1904), Kristine Bonnevie (1923), Harold Cummins (1926), Noel Jaquin (1958), Beryl Hutchinson (1967), dan kemudian oleh Baverly C Jaegers (1974) yang menyimpulkan bahwa sidik jari dapat mencerminkan karakteristik dan aspek psikologis seseorang.
Pada tahun 1901, Sir Edward Richard Henry mengembangkan Sistem Galton menjadi sistem Galton-Henry. Pada tahun 1914, sistem Galton-Henry mulai dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1960, sistem ini resmi digunakan oleh POLRI (menurut Indonesia Automatic Fingerprint Identification System/INAFIS).
Sekarang teknologi sidik jari sudah berkembang jauh. Salah satunya, teknologi dermatoglyphics yang dapat dipakai untuk membuktikan seberapa besar kapasitas yang dimiliki anak sejak lahir, mengetahui potensi bawaan, serta bakat terpendam anak. Teknologi tersebut mulanya dikembangkan di Harvard University, Cambridge University, dan Massachusetts University.Data statistik perangkat lunak dermatoglyphics itu diolah berdasarkan data sidik jari 3 juta orang di Asia dan Amerika.
Dari rangkaian sejarah riset-riset sidik jari di atas masih kurang ilmiah apa lagi?
Jika genetika perilaku yang mampu ditunjukkan oleh sidik jari dianggap sebagai ilmu semu, sebaiknya hal tersebut perlu direkomendasikan langsung ke POLRI dan institusi intelijen di seluruh negara untuk menukarkannya dengan cara lain. Saya yakin Prof Sarlito tidak akan punya cara lain yang lebih efisien dan efektif dibanding teknologi sidik jari. Padahal sidik jari sudah memiliki sejarah riset yang panjang, yang sungguh menyedihkan kalau dianggap sebagai bentuk penipuan yang lain.
Penutup
Ketimbang berburuk sangka dengan menuduhkan Tes Sidik Jari sebagai penipuan, atau ramalan, maka ada baiknya kita melihat manfaat dari hasil Tes tersebut. Setelah mengetahui faktor dominan dalam diri anaknya, maka orang tua punya referensi untuk mengarahkan masa depan anaknya tanpa harus memaksakan kehendaknya yang hanya akan membuat anak tertekan.
Saya sendiri merasakan tingkat akurasi yang sangat tinggi setelah melakukan Tes Sidik jari dengan STIFIn Finger Print. Dan saya menemukan kembali jalur sukses saya, Karpet merah yang telah Tuhan sediakan untuk saya. Demikian juga para orang tua yang membawa anaknya untuk di tes, mengutarakan keakuratan hasil tes tersebut.
Yang namanya ilmu buatan manusia tentu tidak ada yang 100% sempurna, dan selalu ada kontroversi. Daripada berkutat dengan kontroversi yang tidak akan pernah habis, alangkah lebih baiknya jika orang tua langsung action mendesain masa depan bagi putera-puterinya. Ini tentu lebih baik daripada harus menyerahkan kepada kehendak alam begitu saja, dan membiarkan seperti air mengalir.
Tugas kami adalah memberi kontribusi dalam hal membantu orang tua untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumber: Stifinbandung.wordpress.com
Saya baru saja ikut tes STIFIn dan hasilnya bukan "guwa banget".. Kebetulan dari searching sana-sini juga mendapatkan info bahwa keakuratannya hanya sekitar 80-95%.
BalasHapusJika begitu, kira2 faktor apa saja yang bisa memunculkan ketidakakuratan pada hasil testnya?
Terima kasih.
Kalau sudah 80-95% itu kami pikir bukan hanya, karena sudah melalui pembuktian kelompok besar orang. mungkin jika anda setelah tes merasakan hasil yang sepertinya menurut anda tidak sesuai berarti anda masuk dalam golongan kelompok kecil sebagian orang, dan itu wajar. karena beberapa baigan kecil orang juga merasa demikian karna berbagai faktor, mulai dari lingkungan, komunitas, kebiasaan yang sangat membekas dalam alam bawah sadar. tapi dengan tes STIFIn ini berusaha untuk menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya. coba anda rasakan kembali dan telaah bagaimana kehidupan dan kepibadian anda selama ini. Anda bisa konsultasikan pada para pakar sidik jari terutama pada bpk. Faid Poniman ataupun lansung pada yang telah memerirksa anda. terima kasih
BalasHapusSebagian memang ada yang berkutat pada kontroversial karna mereka sangat membutuhkan detail. namun kontroversial adalah efek dari perbedaan warna dan perbedaan warna adalah rahmat. semoga saya memahami rahmat-Nya. Amiin
BalasHapusKalau menggunakan bahasa gaulnya, “jangan bawa-bawa Tuhan deh dalam pembahasan ilmiah”. < Ini adalah basis sudut pandang Anda, yg rasanya juga basis dari masalahnya.
BalasHapus1. Namanya pembahasan ilmiah, dibutuhkan konsep + pembuktian agar sebuah teori bisa disebut ilmiah atau science. Kalau bawa-bawa Tuhan, namanya bukan science tapi religi. Anda mau memaksakan pembahasan ilmiah dicampur dengan pembahasan kepercayaan Anda? lol
2. Stiffin FingerPrint dikatakan tidak ilmiah oleh seorang Prof. Kemudian apa kompetensi saudara untuk mengatakan sebaliknya? Hanya krn Anda merasa lebih percaya Tuhan, Anda kemudian merasa lebih berkompeten? Wow sekali.
3. Hanya krn sang Prof tidak setuju dgn konsep 20% faktor gen itu, Anda menjudge dia tidak percaya Tuhan? Sementara ilmu genetika awalnya juga datang dari Barat. Ilmu genetika bukan milik agama, itu milik bidang ilmiah. Anda menggunakan temuan bidang ilmiah Barat, mengadopsinya ke dalam agama untuk menyerang kembali keilmuan aliran Barat? Ini konyol!
Saya bisa mengerti, Anda adalah salah satu fanatik agama dengan kebencian tidak rasional terhadap dunia barat. Ironinya Anda menggunakan internet dan layanan situs kepunyaan orang barat sebagai media utk berkoar soal kebencian lol!
Saran saya, pasti ada alasan logis dan ilmiah kenapa sang Prof tidak setuju. Sebagai orang awam yang BELUM mencapai tingkat prof di bidang tersebut, sebaiknya jangan cuma berbasis asumsi dan kebencian aja untuk menjudge. Karena demi Tuhan, penjelasan Anda di atas sangat tidak nyambung dan sangaat konyol. Maaf kalau saya harus jujur.
Wassalam.
Kita tidak dapat memisahkan agama dari berbagai ilmu dan kehidupan sehari2 sebab semua kegiatan kita sudah diatur dalam agama. Dari awal bangun hingga menjelang tidur. Bahkan buang air pun ada adabnya dalam agama, apalagi menuntut ilmu. Kadang ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Banyak sekali malah. Mengapa kita tidak boleh mengaitkan ilmu agama dengan science? Sedangkan kita hidup di dunia ini hanya sebagai perantara sebelum hidup krkal abadi di akhirat. Menurut saya, semakin ahli seseorang dalam science justru seharusnya semakin yakin juga bahwa Allah Swt sang pencipta alam ini maha besar. Kita yang hanya sebagai ciptaannya tidak akan sanggup menerima hal diluar nalar kita sebab kemampuan kita pun terbatas, tak akan mungkin melampaui sang pencipta. Bisakah kita menjelaskan secara ilmiah mula2 manusia (adam dan hawa) hidup di bumi karena memakan buah khuldi? Kemudian hubungan perjalanan isra miraj Rasulullah ke langit ke-7 dengan jumlah sholat 5 waktu? Maaf sekiranya jika ada salah kata, sebab kesempurnaan hanya milik Allah Swt semata.
HapusKita tidak dapat memisahkan agama dari berbagai ilmu dan kehidupan sehari2 sebab semua kegiatan kita sudah diatur dalam agama. Dari awal bangun hingga menjelang tidur. Bahkan buang air pun ada adabnya dalam agama, apalagi menuntut ilmu. Kadang ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Banyak sekali malah. Mengapa kita tidak boleh mengaitkan ilmu agama dengan science? Sedangkan kita hidup di dunia ini hanya sebagai perantara sebelum hidup krkal abadi di akhirat. Menurut saya, semakin ahli seseorang dalam science justru seharusnya semakin yakin juga bahwa Allah Swt sang pencipta alam ini maha besar. Kita yang hanya sebagai ciptaannya tidak akan sanggup menerima hal diluar nalar kita sebab kemampuan kita pun terbatas, tak akan mungkin melampaui sang pencipta. Bisakah kita menjelaskan secara ilmiah mula2 manusia (adam dan hawa) hidup di bumi karena memakan buah khuldi? Kemudian hubungan perjalanan isra miraj Rasulullah ke langit ke-7 dengan jumlah sholat 5 waktu? Maaf sekiranya jika ada salah kata, sebab kesempurnaan hanya milik Allah Swt semata.
Hapusbahasannya nyambung koq. kan di atas sudah dijelaskan bahwa ada perbedaan pandangan bahwa pa sarlito berpandangan nurture sedangkan stifin berpandangan nature. anda jangan memotong penjelasan seenaknya dan mengambil kutipan penjelasan yang kurang lengkap sehingga anda jadi kurang paham penjelasan keseluruhan. bahkan ilmuwan barat saja ada yang berbeda pendapat dengan pandangan nature dan nurture ini. lagian pandangan tentang nature dan nurture ini juga berasal dari barat dan malah anda menilai tes stifin ini sebagai bentuk kebencian terhadap barat karena menyebutkan unsur agama di dalamnya. helloooooowww! !!!!
BalasHapussebaiknya anda membaca lagi dengan seksama dan pelajari stifin jika anda orang yg punya semangat menuntut ilmu. jika tidak ya sudah abaikan. lagian di bagian mana di penjelasan d atas yang menyebutkan bahwa Pa Sarlito tidak percaya Tuhan? anda jangan menyimpulkan seenanknya saja deh.
di penjelasan d atas juga tidak ada yg namanya unsur kebencian terhadap pandangan Pa Sarlito dengan pandangan nurturenya. justru andalah yang jangan berasumsi seenaknya.
Salah satu hal "false" adalah kesimpulan tentang teori darwin bahwa manusia berasal dari kera yg yg secara tdk langsung anda amini. Saran saya, belajarlah tentang darwin dan juga teorinya yg sdh berkembang saat ini. Hal lain no comment
BalasHapusteori kan blum jadi hukum (law). kalo teori ya cuma teori. tapi hukum adalah teori yg sudah di buktikan secara fakta.
BalasHapusmisalnya hukum gravitasi. gak ada hukum darwin..krn ya masih teori.
maap gak nyambung..
Saya bisa menentukan karakter anda tanpa tes sidik jari...brp tgl,bln,thn lajir anda..silahkan teman2 buktikan apakah stifin itu penipuan atau bukan..
BalasHapusSaya bisa menentukan karakter anda tanpa tes sidik jari...brp tgl,bln,thn lajir anda..silahkan teman2 buktikan apakah stifin itu penipuan atau bukan..
BalasHapus